Ketika Pajak Menjadi Bara Kebangkitan Rakyat
M. Isa Ansori
Pegiat Perlindungan Anak di LPA Jatim, Akademisi di STT Multimedia Internasional Malang, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim
Pati yang dikenal sebagai kabupaten agraris dengan masyarakat yang sederhana, patuh, dan taat, tiba-tiba berubah menjadi bara amarah. Desa-desa yang biasanya tenang mendadak menjadi riuh oleh suara rakyat yang menuntut keadilan. Semua bermula dari kebijakan bupati yang menaikkan pajak hingga 250 persen. Kebijakan itu bukan hanya menekan ekonomi rakyat, tetapi juga menyinggung harga diri masyarakat yang merasa diperas tanpa belas kasihan. Saat bupati dengan pongah menantang rakyat untuk berdemo, jawaban datang dengan gotong royong: rakyat bergerak berbondong-bondong, menuntut penguasa yang lalim itu untuk mundur.
Narasi ini hanyalah potret kecil dari wajah Indonesia yang lebih luas. Pajak, yang seharusnya menjadi instrumen untuk menyejahterakan rakyat, kini kerap dipersepsikan hanya sebagai alat untuk mengisi perut para pejabat dan elit politik. Semangat “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” terasa tereduksi menjadi “dari rakyat, untuk pejabat, oleh oligarki.” Rakyat yang setiap hari membayar pajak melalui keringatnya, justru melihat betapa anggaran negara lebih banyak habis untuk kepentingan elit ketimbang kepentingan publik.
Ketidakadilan ini menjadi bara yang sewaktu-waktu bisa menyulut perlawanan. Buruh yang gajinya tak sebanding dengan harga kebutuhan pokok, mahasiswa yang resah melihat masa depan suram, akademisi yang prihatin terhadap ketidakadilan struktural, hingga emak-emak yang saban hari memutar otak untuk mengatur belanja rumah tangga yang kian menipis—semuanya punya potensi bersatu dalam gelombang besar perlawanan sosial.
Apalagi ketika kemiskinan seolah-olah didesain tetap ada. Pemerintah terkesan kehilangan empati, menaikkan gaji pejabat dan tunjangan elit, sementara rakyat harus menanggung beban hidup yang semakin berat. Jurang kesenjangan sosial semakin lebar, sehingga rasa percaya publik kepada pemerintah kian menipis. Inilah kondisi yang berbahaya, sebab ketika rakyat kehilangan kepercayaan, legitimasi kekuasaan akan goyah.
Pajak pada dasarnya adalah kontrak sosial: rakyat rela menyisihkan sebagian penghasilannya dengan keyakinan bahwa negara akan mengembalikan manfaatnya dalam bentuk layanan publik yang adil, pendidikan yang bermutu, kesehatan yang terjangkau, serta infrastruktur yang bermanfaat. Namun ketika pajak justru dirampok melalui korupsi atau dialokasikan untuk kepentingan politik sempit, kontrak sosial itu hancur. Yang tersisa hanyalah kemarahan yang bisa meledak kapan saja.
Dalam situasi seperti ini, komitmen Presiden Prabowo sangat ditunggu. Prabowo pernah berjanji untuk memberantas korupsi dan membentuk kabinet yang bersih. Komitmen ini harus diwujudkan bukan sekadar dengan retorika, melainkan dengan tindakan nyata. Jika ingin pajak benar-benar menjadi “dari rakyat untuk rakyat,” maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan lingkaran kekuasaan dari koruptor. Tidak ada kompromi untuk pejabat yang menyalahgunakan jabatan demi memperkaya diri.
Prabowo harus berani melakukan revolusi mental di kabinetnya: memilih menteri dan pejabat berdasarkan integritas, bukan transaksi politik. Rakyat sudah terlalu muak melihat bagaimana kursi jabatan dijadikan alat tawar-menawar, sementara korupsi merajalela di kementerian, BUMN, bahkan di level pemerintahan daerah. Jika lingkar kekuasaan saja masih kotor, bagaimana mungkin pajak bisa digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat?
Selain itu, transparansi penggunaan pajak harus menjadi agenda utama. Rakyat berhak tahu ke mana setiap rupiah pajak dialokasikan. Penguatan lembaga pengawas, partisipasi publik dalam perencanaan anggaran, serta digitalisasi sistem pajak harus menjadi prioritas. Dengan begitu, rakyat bisa melihat bahwa uang mereka benar-benar kembali dalam bentuk program yang nyata, bukan hanya laporan indah di atas kertas.
Prabowo juga harus peka terhadap suara kritis dari masyarakat. Buruh, mahasiswa, akademisi, emak-emak, dan kelompok masyarakat sipil lainnya bukanlah musuh pemerintah. Mereka adalah alarm yang mengingatkan agar negara tetap berada di jalur yang benar. Menekan suara kritis dengan aparat justru akan memperbesar perlawanan. Yang dibutuhkan adalah dialog, keterbukaan, dan keberanian untuk menerima kritik sebagai vitamin demokrasi.
Jika komitmen pemberantasan korupsi dan pengelolaan pajak yang adil benar-benar diwujudkan, Prabowo bisa mengubah potensi bara perlawanan menjadi energi kolaborasi. Rakyat akan mau bergandeng tangan dengan pemerintah karena melihat adanya kesungguhan dan keadilan. Pajak tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai bentuk gotong royong modern untuk membangun bangsa.
Namun jika janji tinggal janji, jika korupsi tetap bercokol di lingkaran kekuasaan, jika pajak terus menjadi alat eksploitasi rakyat demi perut pejabat, maka sejarah bisa berulang: perlawanan rakyat akan bangkit, dari desa hingga kota, dari buruh hingga mahasiswa, dari emak-emak hingga akademisi. Sebab rakyat yang lapar dan kehilangan kepercayaan adalah bara yang tak bisa dipadamkan dengan retorika.
Pada akhirnya, masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintah mengelola pajak dan memberantas korupsi. Pajak harus kembali ke khitahnya: dari rakyat untuk rakyat. Dan Prabowo harus membuktikan bahwa ia benar-benar memihak rakyat, bukan sekadar memihak elit. Jika tidak, bara perlawanan akan terus membara, menunggu saatnya untuk menyala.
- Surabaya, 22 Agustus 2025