Prabowo dan Jalan Penyatuan Bangsa

{"data":{"activityName":"","alias":"","appversion":"0.0.1","editType":"image_edit","exportType":"ads_export","filterId":"","imageEffectId":"","os":"android","pictureId":"c1ccfd7df719499e9780e11e261ce5eb","playId":"","product":"lv","infoStickerId":"","stickerId":""},"source_type":"vicut","tiktok_developers_3p_anchor_params":"{"source_type":"vicut","client_key":"aw889s25wozf8s7e","picture_template_id":"","capability_name":"retouch_edit_tool"}"}

Presiden Prabowo Subianto hari ini berdiri di persimpangan sejarah. Bangsa yang diwarisi penuh luka akibat pertarungan politik, kepentingan oligarki, dan polarisasi yang makin dalam, dan rakyat kini sedang menanti keputusan besar: apakah Prabowo akan mengulang jalan lama penuh keterpecahan, atau berani menapaki jalan baru, jalan penyatuan bangsa?

Penyatuan bangsa bukan hanya jargon politik. Ia adalah kebutuhan mendesak agar republik ini tidak makin terjerumus dalam jurang ketidakadilan, kehilangan empati, dan kerapuhan sosial. Indonesia hari ini tengah menghadapi bara yang bisa menjelma menjadi api besar: kesenjangan sosial yang kian menganga, kemiskinan yang terasa seperti didesain, serta kebijakan pajak yang dirasakan rakyat sebagai beban tambahan di tengah penghasilan yang stagnan. Jangan sampai apa yang terjadi di Pati, tentang pajak, yang dikhawatirkan akan memicu bara perlawanan rakyat secara nasional apalagi saat ini mereka yang ada di kabinet Prabowo dianggap telah melukai rakyat dan berperilaku tidak baik yang mencoreng wajah pemerintahan.

Isu pajak ini bahkan bisa menjadi bara paling berbahaya. Alih-alih menjadi instrumen keadilan, ia bisa memantik perlawanan rakyat jika tidak dikelola dengan bijak. Anies Baswedan pernah memberi ilustrasi sederhana namun menyentuh: “Pajak ibarat memancing di permukaan, di mana ikan-ikan kecil yang mudah terlihat terus ditangkap, sementara ikan-ikan besar yang berada di kedalaman dibiarkan bebas.” Analogi ini mewakili perasaan rakyat kecil: mereka yang selalu ditarik kewajiban, sementara para pengusaha besar, konglomerat, dan oligarki kerap lolos dengan celah hukum dan kompromi. Bila kondisi ini dibiarkan, rasa keadilan akan hancur, dan kepercayaan rakyat terhadap negara akan luruh.

Di tengah situasi inilah, penyatuan bangsa memerlukan langkah-langkah nyata. Bukan sekadar janji, melainkan keberanian seorang pemimpin untuk merangkul semua kelompok, mendengar suara yang berbeda, dan menjadikan kritik sebagai energi. Presiden Prabowo perlu membuka ruang dialog dengan mereka yang selama ini dipinggirkan, bahkan dimusuhi, oleh kekuasaan sebelumnya.

Ada Anies Baswedan, sosok yang konsisten menyuarakan keadilan sosial dan kerap menjadi sasaran kriminalisasi politik. Ada Megawati Soekarnoputri, simbol perjuangan demokrasi yang kini berdiri tegak bersama PDIP melawan arogansi kekuasaan lama. Ada pula suara Rocky Gerung, intelektual publik yang tak segan menguliti kebijakan negara dengan tajam. Tidak kalah penting, ada suara Said Didu, ekonom rakyat yang selalu mengingatkan bahaya utang dan eksploitasi sumber daya, ada Refly Harun seorang ahli tata negara, ada Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI dengan analisa tajamnya tentang kemiskinan yang didesain dan serangan balik kekuatan lama untuk menjatuhkan citra Prabowo, dan juga jangan lupakan barisan buruh, mahasiswa, emak-emak, petani, dan nelayan yang suaranya sering dianggap bising, padahal merekalah wajah asli Indonesia yang sebenarnya serta suara para purnawirawan yang mengkhawatirkan adanya sandungan ditengah jalan pemerintahan Prabowo.

Mengajak kelompok-kelompok kritis ini ke meja dialog bukan tanda kelemahan, melainkan kematangan kepemimpinan. Sebab demokrasi hanya bisa hidup jika kritik dipelihara, bukan dibungkam. Bila Prabowo berani membuka pintu, ia akan dikenang bukan sekadar sebagai presiden yang melanjutkan tradisi lama, tetapi sebagai negarawan yang berani menyeberangi sekat dan menjahit sobekan kebangsaan.

Ilustrasi nyata bisa kita lihat pada sejarah. Ketika Gus Dur menjadi presiden, beliau berani merangkul kelompok yang sebelumnya terpinggirkan, membuka jalan rekonsiliasi yang sebelumnya dianggap mustahil. Hasilnya, meski singkat, Gus Dur dikenang sebagai bapak pluralisme yang tulus. Atau Bung Karno yang mampu menggalang kekuatan nasional dari beragam ideologi: nasionalis, Islam, sosialis, bahkan kelompok marjinal, demi satu tujuan bersama, Indonesia merdeka.

Kini, peluang itu ada di tangan Prabowo. Tantangannya jelas: jangan sampai pemerintahannya terjebak pada pusaran oligarki yang hanya mementingkan keuntungan segelintir, sementara rakyat terus dihimpit kesulitan hidup. Pajak yang tak adil, harga pangan yang mencekik, lapangan kerja yang tersumbat, bisa berubah menjadi bara perlawanan rakyat yang sulit dipadamkan.

Namun sebaliknya, bila Presiden Prabowo berani melakukan koreksi, mengedepankan keadilan pajak, memberantas korupsi mulai dari lingkar terdekatnya, serta mengajak semua elemen bangsa duduk bersama, ia akan membuka jalan penyatuan bangsa yang sesungguhnya. Ia akan dikenang sebagai presiden yang tidak hanya memimpin, tetapi menyembuhkan.

Rakyat tidak menuntut kesempurnaan. Mereka hanya ingin negara hadir dengan hati nurani: pajak yang adil, hukum yang tegak lurus, lapangan kerja yang nyata, dan kesempatan hidup layak bagi semua.

Presiden Prabowo, sejarah memberi Anda kesempatan emas. Dengarkanlah suara Anies yang mengingatkan bahaya ketidakadilan pajak. Dengarkanlah Megawati yang menegaskan arti kedaulatan rakyat. Dengarkanlah intelektual dan aktivis yang mengkritik keras namun tulus ingin negeri ini selamat. Rangkullah mereka, bukan untuk tunduk, tetapi untuk bersama menjaga republik.

Karena bangsa ini bukan hanya milik penguasa, tetapi milik seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke. Bila langkah penyatuan ini diambil, maka 100 tahun Indonesia Emas bukan sekadar slogan, melainkan kenyataan.

Dan bila Anda berani menapaki jalan ini, kelak anak cucu bangsa akan berkata: “Di masa Prabowo, bangsa yang hampir pecah itu kembali disatukan.”

Surabaya, 24 Agustus 2025

M. Isa Ansori

Pemerhati Kebijakan Perlindungan Anak dan Sosial di LPA Jatim, Akademisi di STT Multimedia Internasional Malang,

Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *